Oh iya sekarang zamannya suku-sukuan nggak? Nggak kan…kita
Berbhinneka Tunggal Ika tak ada perbedaan suku, agama, ras, budaya buat kita.
Kita ini satu. Sebelum bercerita panjang lebar, kenalkan dulu aku adalah seorang
istri, usia 25 tahun, sudah menikah 1,5 tahun dan masih belum dikarunia anak (berharap
tahun ini aku bisa hamil). Aku bekerja, suami juga bekerja. Aku dan suami berasal dari Pulau Madura yap lebih
tepatnya kami suku Madura. Aku tinggal di ujung barat kota Surabaya, tempat
tinggal masih nyicil kurang lebih 13 tahun lagi baru lunas.
Oke aku mulai bercerita. Aku hidup bermasyarakat, aku punya tetangga, aku harus
hidup bersosialisasi dengan mereka dengan cara ikut pengajian, arisan PKK, dan
lain-lain. Aku sangat menghormati tetangga-tetangga diperumahan, karena saudara terdekatku sekarang adalah tetangga. Mana mungkin jika aku atau suami sakit harus
minta tolong pada keluarga kami yang ada di Madura sana. Tidak mungkin kan, dan
yang membantu pertama kali adalah para tetangga kita. So, berbuatlah baik pada
tetangga.
Tapi aku tahu. Tak semuanya tetangga berhati baik, berhati
ikhlas, berhati jujur. Subhanallah macam-macam orang diciptakan untuk saling
melengkapi oleh Allah. Ada yang iri, ada yang temperament, ada yang salah dikit
langsung nggak bertegur sapa. MasyaAllah ada-ada saja ya.
Memang aku jarang sekali berkumpul dan ngobrol dengan
tetangga dikarenakan aku bekerja, pulang kerja aku capek banget, biasanya aku langsung tidur. Bayangkan berangkat pagi pulang malam dan saat kami berangkat
atau pulang tidak ada tetangga yang keluar rumah. Mereka berkumpul dengan
keluarganya masing-masing dirumahnya.
Bermula dari pulang kerja, aku sempatkan menyirami tanaman-tanaman
walau badan terasa capek. Seorang ibu keluar dari rumahnya dan mengajakku ngobrol. Alhamdullah, tetanggaku baik, mau bertegur sapa denganku. Ibu itu kemudian
tanya-tanya.
“Sudah punya anak
mbak? Kerja dimana? Suami kerja dimana? Wah pasti banyak ya gajinya? kan
suami istri pada kerja semua”.
“Iya Bu, Alhamdulillah” sambil tersenyum. Lalu ibu itu melanjutkan cerita
keluarganya.
“Anak saya yang
pertama SMA kelas 3 mbak, hampir lulus, bingung mau ngelanjutin apa nggak
nantinya. Yang adeknya masih kelas 5 SD. Biaya sekolah mahal mbak, bapaknya cuma
satpam dan saya buka toko dirumah. Uang pas-pasan mbak yang ada malah banyak
hutang”.
Aku terus mendengarkan ibu itu bercerita, dan sampai ke topik
yang membuat telingaku rada risih.
“Kalo orang depan itu
mbak banyak kucingnya, geli saya, orang Madura kayaknya, cuciannya ditaruh
diluar ya, nggak rapi banget, rumahnya juga jarang dipel kotor, kayaknya jorok.
Kalau orang Madura itu kayak gitu mbak, semuanya pada jorok”.
Aku langsung kaget mendengarkan ibu itu ngoceh
kanan kiri #loh Bu aku orang Madura,
cucian aku dulu juga pernah aku taruh depan rumah, tapi sekarang nggak karena aku sudah punya tempat cucian dibelakang (ngomong dalam hati).
Dan, ibu itu melanjutkan ceritanya lagi.
“Mbak di undang kumpul
warga besok malam?”
“Iya bu”.
“Kok nggak koordinasi
dulu ya ke kita-kita mbak. Disuruh bawa makanan 4 dus nasi ya mbak? Kalo saya
nggak apa-apa mbak. Keluarga saya berjumlah 4, saya, suami, dan 2 anak saya.
Lah kalo mbak kan cuma berdua. Terus yang 2 lagi buat siapa? Kan terbuang
percuma kan mbak??? Gimana sih kok nggak dikoordinasikan dulu”.
Waduh, tambah pusing aku mendengarkan cerita ibu ini. Malah
ceritanya diperpanjang lagi.
“Mbak, suaminya
sering kumpul-kumpul ya sampai malam? Tetangga sebelah sakit gara-gara kumpul
sama bapak-bapaknya sampai larut malam mbak. Wong angin malam loh nggak sehat, suami
mbak juga ikutan kumpul ya?”.
Lah mulai ngurus urusan orang ini ibu. Udah ngomongin
tetangga lagi. Dan akhirnya aku mohon pamit ke ibu itu. Dan, aku bercerita pada suami apa yang telah terjadi
barusan. Suamiku menanggapinya dengan positif
thinking.
“Ya sudahlah, ambil
hikmahnya saja. Lagian menggunjing orang nggak baik. Semoga ibu itu lekas
khilaf. Biarin saja yang penting kita berbuat baik ke tetangga, terserah tetangga
mau bersikap apa ke kita. Kalau kita punya sesuatu, tetangga juga harus
dikasih. Jangan dimakan sendiri, kita harus berbagi rezeki kepada orang lain
juga. Masalah tetangga mau ngomongin si A, si B, si C, mendingan jangan ikut
menanggapi, kalau bisa diingatkan kalo ngomongin orang itu nggak baik, dosa”.
Aku mengangguk, kemudian suami melanjutkan lagi.
“Lagian di dalam
Al-Qur’an sudah jelas kalau orang yang suka ngomongin orang itu dosa. Di Q.S Al
Hujurat ayat 12 yang artinya Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu
menggunjing sebahagian yaang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang”.
Wah, mantap
sekali. Sepertinya untuk orang-orang seperti itu mungkin cocok diberikan gelar “Masuk Neraka Siapa Takut”. Soalnya
sih, nggak ada habisnya yang menggunjing orang. Apa mereka nggak takut dosa
ya? Nggak habis pikir aku pada tetangga-tetangga ini. Tidak hanya itu,
sebenarnya aku juga diceritakan oleh tetanggaku sebut saja tetanggaku ini si B. Si B cerita kalau si A pernah ngomongin aku. Dia ngomong yang
macam-macam tentang aku. Wah, kalo gitu si
B juga sama donk suka ngomongin orang sama seperti si A. Aku juga nggak tau
apakah yang diomongin si B ini benar atau tidak. Intinya, YA SUDAHLAH. Mereka
ngomongin apa aja suka-suka mereka, yang penting aku tidak terpengaruh
menggunjing para tetangga. Toh, ada yang Maha Mengetahui dan Maha
Melihat. Ngapain aku sibuk ngurusin urusan orang, urusan aku aja belum kelar-kelar.
Terserah mereka juga, mau ngomongin suku. Terus kalau
aku suku Madura napa? Nggak berhak hidup di tanah Jawa. Memangnya punya
salah apa sih orang Madura, kok sampai segitunya dengan orang Madura? Apa
mereka pernah berbuat jahat pada kalian? Terus karena hanya satu orang Madura
yang berbuat jahat, semua orang Madura di cap salah semua?
Hello, kembalil
lagi pada 4 pilar Negara kita ya, yang salah satunya “Walaupun berbeda-bada
namun tetap satu jua” dan kembali lagi kalau menggunjing orang itu “dosa” ya. #ngoceh sendiri didepan suami
Kemudian suamiku mengajak sholat Isya’.
“Sudah-sudah,
daripada Adik ngoceh sendiri mendingan kita sholat saja. Kita mohon pada
Allah agar tetangga-tetangga kita bisa berubah, tidak saling menggunjing satu
dengan yang lainnya. Mari kita do’akan mereka, kita juga berdo’a untuk kita
sendiri agar kita termasuk golongan yang Khusnul Khotimah”.
Amiiien, aku bergegas ambil wudhu dan sholat Isya’ berjamaah dengan suami.
No comments:
Post a comment
Yuk berkomentar :)