|
5 bulan setelah menikah jalan-jalan ke Bali |
Iya, pacaran. Aku pernah pacaran berkali-kali. Maaf...dalam agamaku Islam memang nggak ada yang namanya pacaran, tapi aku tetap ngeyel #masih labil dan pengennya happy fun terus. Selain itu ortu ngelarang untuk pacaran, karena aku masih berstatus pelajar, pacaran hanya akan merusak pikiranku. #hash...zaman yang paling aku benci untuk diingat karena ada something. Aku tidak akan menceritakan mantan-mantan pacarku yang terdahulu. Aku hanya akan menceritakan satu mantan pacarku yang sekarang telah menjadi suamiku.
Aku mengenalnya tahun 2007, dia aku anggap seperti kakak, teman, bapak, om-ku. Soalnya dia selalu memberikan petuah-petuah serta nasehat yang gampang diterima oleh otakku. Petuahnya sangat bermanfaat pada waktu aku kuliah dengan beban yang sangat banyak #beban pelajaran, keluarga, teman, dan lainnya. Nasehatnya juga kadang disertai Hadits dan Al Qur'an, beserta arti dan penjelasannya. So, hatiku yang terombang ambing bisa tenang kalau sudah dinasehatin.
Tahun 2010, kami memutuskan menjalin hubungan asmara. Cinta bersemi dari petuah-petuahnya serta nasehatnya. Aku merasa kehilangan dirinya jika satu hari saja tidak diberi petuah. Aku selalu minta saran kepadanya, dan dia selalu memberikan saran yang menggugah semangatku. Seperti itulah cinta, datang tak diundang, tapi merasuk dengan sendirinya. Cinta kadang tak tau harus memilih siapa dan dengan latar belakang apa. Aku klop banget dengan hatinya, mungkin antara dunia sama agamanya seimbang, mengejar dunia sekaligus mengejar akhiratnya.
Tahun 2011, kami memutuskan untuk bertunangan. Dua keluarga dipertemukan dalam suatu adat yang berlaku di tempatku. Saling silaturahmi antara keluargaku dengan keluarganya. Pasti ada kelebihan dan kekurangan dalam hidup ini. Acara pertunangan yang sangat sederhana, karena pihak pria memang hidup dengan kesederhanaannya, dan disisi lain untuk pihak wanita ingin acara ini lebih dari acara pertunangan karena pihak wanita ingin sesuatu yang menjadi riya #hash...jangan dibahas disini.
Tahun 2012, aku memantapkan hatiku untuk menjadi bagian dari hidupnya. Prosesi lamaran, ijab qobul, dan resepsi berlangsung dengan sederhana tapi meriah untuk ukuran kampungku. Bahagia? iya sangat bahagia, mungkin inilah yang namanya kebebasan. Aku benar-benar bebas, karena kewajiban orangtua atas aku/anaknya sudah jatuh ke tangan suami. Dialah yang akan membimbingku. Dihadapkan antara dunia yang bersifat sementara dan akhirat yang bersifat kekal. Dialah seorang petuah dan pemberi nasehat. Suamiku...